(Telah dimuat di Harian Mimbar Umum, 07 April 2012)
Oleh Ririn Anindya Putri
Tidak seperti
biasa, baru beberapa menit dari jam 9 malam, kelopak mata Rei sudah minta
ditutup dan tubuhnya telah nyaman berbaring di ranjang dengan seprei putih
kesukaannya. Tiba-tiba ponsel yang memang seperti biasa tidur bersamanya dengan
semangat mengabarkan sms masuk. Rei yang kalah semangat berlemah-lemah
menggapai.
Tolong bantu menyebarkan. Mohon bantuannya,
butuh darah bergolongan darah B. Untuk Aidina Maya, kelas 1 SMP, sedang kritis
karena kecelakaan di Rumah Sakit Dahlia. Cp. Kiki: 087731684xxx. Tolong disebar,
jangan sampai sms ini terputus.
Pengirim: Rani
+623808098xxx
Penerima: Rei
+628187896xxx
Rei yang
berlimpah bonus sms, di tengah usaha melawan ketaksadaran karena kantuk yang
bertambah-tambah, menyebar sms tersebut sekenanya, seberapa ia mampu.
****
Pagi masih biru,
meski begitu jendela rumah sudah terbuka lebar. Mempersilahkan udara segar
masuk dengan sesuka ke rumah itu, akhirnya para penghuni pun telah segar karena
dirasuk udara pagi. Seperti tubuhnya, isi kepala perempuan 23 tahun berpiyama
hijau pun sudah siap untuk menerima perintah. Memeriksa sms masuk adalah
aktivitas yang tak terlewatkan gadis itu setiap pagi. Ia membaca sms yang bermunculan, termasuk membaca
ulang sms perihal membutuhkan donor darah. Kali ini, ia dengan semangat menekan
keypad buram ponsel, meneruskan sms
tersebut ke banyak teman.
Rei punya kesan
manis akan donor darah pertamanya dan juga telah memiliki pemahaman yang baik
tentangnya-tentu donor darah sukarela. Ia mengagendakan untuk donor darah hari itu. Ya, ia bergolongan
darah B, persis seperti yang tengah dibutuhkan.
Selang beberapa
jam, sms baru sundul-menyundul, tak lain tak bukan menanyakan kepastian berita
Si Adik Kecil – Aidina Maya. Adalah mengirim dan berbalas pesan kini tengah
dilakukan.
Kakak kenal dengan pasien?
Pengirim: Arni
+628578945xxx
Penerima: Rei
+628187896xxx
Enggak dek, kakak dapat kabar dari Kak Rani.
Tapi nanti kakak akan ke Rumah Sakit itu, dek.
Pengirim: Rei
+628187896xxx
Penerima: Arni +628578945xxx
Kak Rani, itu Rumah Sakit di kota kita ini,
atau dimana? Kakak kesana?
Pengirim: Rei
+628187896xxx
Penerima: Rani
+623808098xxx
Kayaknya gitu, Rei. Kakak baru bulan lalu
donor, belum bisa lagi.
Pengirim: Rani
+623808098xxx
Penerima: Rei
+628187896xxx
Kak, lagi demam, enggak boleh donor darah…
Pengirim: Fifi
+6287620163xxx
Penerima: Rei
+628187896xxx
Kak, Yul bisanya sore. Kak cp nya kok gak
bisa dihubungi?
Pengirim: Yuli
+6289747107xxx
Penerima: Rei
+628187896xxx
Contact person tidak bisa dihubungi? Ah,
Rei pun belum ada menghubungi contact
personnya. Ia mencoba menghubungi, namun tidak ada nada sambung. Ia coba
sms, sms ditolak. Selang beberapa menit, menghubungi lagi, tapi hasilnya tetap
sama. Tak lama, ponsel tuanya berdering
“Mbak, saya Wiah, mau tanya
tentang donor darah itu, kami bertiga mau donor, Mbak.”
“Mbak, tahu dari sms ya? Apa di sms
itu contact personnya saya ya, Mbak?” Rei sedikit heran, karena ia tidak
sedikit menerima telelpon atau sms bernada sama.
“Bukan, Mbak. Tapi Mbak Kiki, cepe-nya enggak bisa dihubungi, teman
saya yang kirim sms bilang, dia tahu dari Mbak Rei.”
“Saya juga dapat dari teman,
Mbak. Tapi itu pun, nanti saya akan ke Rumah Sakit Dahlia, nanti saya kabari
ya, Mbak.”
Rei menanyakan
Kak Rani yang meng-sms-nya, ternyata Kak Rani pun dapat dari temannya, dan
temannya dapat dari teman temannya, dan kesimpulannya tidak pasti darimana sms
itu berasal. Rei yang memang sudah berniat donor, ditambah tanda tanya yang
telah memukul-mukul kepala memutuskan untuk pergi juga.
****
Rumah sakit
punya aroma khas. Dan kebanyakan ummat manusia tidak menyukai aromanya. Wajah
gadis itu jelas menyimpan rasa penasaran. Antara berharap dan tidak atas
kebenaran sms tersebut. Mendatangi pusat informasi pertama kali sesampai Rei di
sana.
“Bu, saya ingin menemui
pasien bernama Aidina Maya, usianya…” Ingatannya tak sekuat keinginannya. Dia
membuka kembali sms yang bersemayam di ponsel.
“Anak kelas 1
SMP, Bu. Sedang kritis karena kecelakaan.”
“Kapan masuknya,
Dek?” Perawat yang sudah paruh baya itu bertanya ramah.
“Tidak tahu, Bu.
Saya dapat kabar dari SMS.”
Perawat yang Rei
sapa Ibu itu, segera membolak balik daftar pasien, ia menggeleng. “Coba ke
bagian anak, Dek. Kalau masih umur segitu, ditangani oleh bagian anak.”
Di ruang anak
pun sama, perawat yang berjaga masih tetap menggeleng. “Coba, lihat namanya di
papan tulis yang ada di depan ruang UGD, Mbak. Kalau dia kritis, dia akan
dirawat disitu. Dan namanya tercantum di papan itu. “
Langkahnya
cepat, namun pendek-pendek karena rok panjang yang dikenakan hari itu tidak
cukup lebar. Jika ponselnya adalah manusia, ponsel itu pasti sudah terengah-engah, meneriaki
gadis itu. Ponselnya telah berdering berkali-kali tapi Rei tak juga dengar.
Ponsel itu berbunyi lagi. Telepon dari adik stambuk di kampus.
“Kak, kami dapat
sms dari call center Rohis kampus,
ada yang butuh donor darah ya, Kak? “
“Hah, call center?” Rei jelas terkejut, kapan
ia mengirim sms ke call center Rohis
kampus. Di zaman ia kuliah saja, saat ia menjadi admin, tepatnya dua tahun lalu, call
center sudah beranggotakan 600-an
orang.
“Hasanah bilang
dia dapat sms dari kakak, lalu dia kirim ke call
center, lalu di share ke member. Ini kak, ada tiga orang yang mau
donor.”
“Nanti kakak
hubungi, kakak lagi di Rumah Sakit, juga mau donor tapi sepertinya info
tersebut… Nanti kakak kabari.”
Kepalanya
naik-turun membaca nama-nama yang tertera di papan UGD. Berulang-ulang
dicocokkan nama yang ada di sms dengan di papan. Bahkan ia nyaris seperti orang
hendak menghapal tujuh nama yang ada di papan UGD beserta nama dokter yang
merawat. Nihil.
Tanda tanya yang
semula hanya menumbuki kepala, kini menjalar bersama alir darah. Siapa dalang
semua ini? Apa ini cuma mau buat sensasi? Ah, bagaimana dengan ratusan sms serupa
yang tersebar? Bagaiman dengan ratusan tanggapan? Bagaimana dengan puluhan
niat?
Menggelengkan
kepala dengan kencangnnya, seakan berontak dengan segala tanya. Lalu meluap
syukur dibalik kehampaan yang menyelinap. Rei menepis prasangka-prasangkanya
dengan kenyataan selama ini, sms semacam itu kerap ia terima, dan memang benar
adanya. Mungkin di lain waktu ia akan memeriksa lebih dulu, menghubungi contact
person sms semacam itu, terutama jika ia tak mengenali Si Pasien dan Si Contact
person. Ia khawatir hal-hal semacam ini
justru akan mengurangi keinginan kuat seseorang untuk membantu jika ada sms
yang tak jauh berbeda datang di waktu depan. Tubuh mungilnya tetap berjalan
tegak, ia tersenyum ketika menyadari fakta lain, banyak kepedulian bahkan reaksi
cepat untuk membantu orang yang tidak dikenalinya secara sukarela, ditambah
pada umumnya orang-orang tersebut masih mendiami usia yang terbilang muda.
Menyenangkan, batinnya.
Sambil menunggu
angkot di teduh pohon beringin tepi jalan, Rei cekatan merancang sms
pemberitahuan,
Saya (+628187896xxx )siang ini telah
memeriksa sms yang menyatakan butuh donor darah B a.n Aidina Maya (sebagaimana
sms yang di-forward ke saya dan saya forward pula, dimana cp tidak bisa
dihubugi, di ruang informasi, ruang anak, UGD RS. Dahlia Medan, dan tidak
menemukan pasien yang dimaksud. Bisa jadi info tidak valid, karena tidak
update, informasi tempat – salah, dsbg. Semoga hal ini tidak mengurangi
keinginan kita membantu yang membutuhkan donor darah dikemudian hari, karena sms-sms
serupa yang saya terima sebelumnya baru kali ini tidak pas.
Dengan cekatan
ia mengirim sms yang telah mencapai lima layar tersebut. Ditengah kesibukannya
itu, ia menyetop angkot. Secara tak sadar, ia menyetop angkot yang salah.
Harusnya angkot bernomor 06 tapi malah menyetop angkot 60. Masih tak menyadari. Di angkot pun masih ber
sms ria. Ponsel putih di genggaman kembali kencang berdering. Merampas
perhatian penumpang lain akan jalanan.
“Ini dengan,
Mbak Rei?”
“Ya.”
“Saya Irsyad.
Saya dan empat teman saya berniat donor darah sukarela untuk adik itu, Mbak.”
“…”
****
Rumah Cahaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar