Ini cerita fiksi tentang satu negeri. Di negeri ini, sering
kali saat anggota perwakilan rakyat melakukan reses ke lembaga pemerintah, mereka
menarik biaya dari para kepala lembaga yang dikunjung dalam bilangan yang mampu dipertukarkan dengan mobil.
Permintaan mereka selalu dipenuhi, uang siapa yang dipakai memenuhi permintaan
ilegal itu? Alhasil tiap kepala – selain menguras dompet sendiri - pun memungut
dari tiap bidang di lembaganya. Tidak ada yang melapor, tidak ada yang
berteriak, sebab untuk mencapai posisi kepala lembaga, kepala bidang, beberapa melakukan
permainan uang pula. Agaknya, posisi jadi taruhan. Hepeng do na mangatur nagara
on.
Masih ada anggota dewan di antaranya yang jujur, yang malu dengan perbuatan
rekan, namun jumlahnya satu – satu, suara mereka ditenggelamkan atau
menenggelamkan diri.
Ada pegawai negeri ini, gajinya terukur, hidupnya jujur,
tapi sebab kekikiran para atasan atau pun apatisme sesama bawahan; apa pun di
mata orang, dia pun menjadi tak betul.
Kebanyakan pegawai negeri yang mengabdi di lapangan, sering bekerja
tak kenal waktu, kesejahteraan mereka jangan ditanyakan, lihat saja dengan
teliti, terbit lah iba. Tapi bagaimana mau lihat, ini kan cuma fiksi, bayangkan
saja lah.
Ini cuma cerita fiksi namun ada
pepatah yang mengatakan,
Life is stranger than fiction.
tanah-tanah retak mengering, meng-abu,
namun awan telah kelabu,
taukah itu pertanda apa?
tunggu sebentar lagi saja,
atau kejar, panggil-panggilah
hujan.
#NulisRandom2015
panggilanku tak jua bertemu
BalasHapuskarena angin telah membawanya berlalu
haruskah aku kembali menunggu
hingga hujan sudi menghampiri bumi yang penuh debu
(komentar macam apa ini, hahaha :P)
panggil lagi, panggil,
Hapusmungkin gemuruh membuat ia tak mendengar
atau mari kita senandungkan rayuan pada hujan
dan bergerak mengikuti tarian angin
membuatnya sedikit saja melirik
kita lihat apakah ia tak mau turun juga
setelah tanah basah dengan air mata
(balasan macam apa ini, :D)
untungnya hanya fiksi
BalasHapus