Sambungan
Mudah-mudahan berkesempatan dan berkenan membaca dua parts sebelumnya. ^^
Tentang Persiapan Diri "Barakallahu Laka ... Bahagianya Merayakan Cinta"
Mudah-mudahan berkesempatan dan berkenan membaca dua parts sebelumnya. ^^
Tentang Persiapan Diri "Barakallahu Laka ... Bahagianya Merayakan Cinta"
Berbicara tentang persiapan diri – terutama persiapan pra-nikah, jadi teringat tulisan Ustadz Salim A. Fillah dalam bukunya “Barakkallahu laka... Bahagianya Merayakan Cinta” yang diterbitkan oleh Pro-U Media.
...
Wanita yang kotor adalah untuk lelaki yang kotor, dan laki-laki yang kotor hanyalah untuk wanita yang kotor. Wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik dan laki-laki yang baik hanyalah untuk wanita yang baik.(QS. An –Nur :26)
Cara berpikir kita masih berbasis objek, yakni ‘dia’. Hatinya berkata, “Wah saya harus memperbaiki diri dulu nih. Soalnya kalau nggak, belum pantas dapat istri ‘dia’!”
Akibatnya, setelah melakukan proses perbaikan diri pun, masih ada pertanyaan, “Bagaimana kita mengukur bahwa kita sudah pantas dan siap untuk menikah? Bagaimana mengukur bahwa kita sudah layak mendapatkan dia? Dan bagaimana kita mengukur, bahwa dia juga sesuai dengan kita?”
... Saya kemudian mencoba menggarisbawah ulang, bahwa perbaikan diri harus berbasi subjek, yakni saya. Hilangkan semua kepedulian dan ketergantungan pada hal-hal di luar ‘saya’. Itulah ikhlas. Itulah ikhlas dalam perbaikan diri.
Tak peduli, ada atau tidak ada ‘dia’, ‘saya’ harus terus melakukan perbaikan diri. Bukan untuk mengukur pantas nggak dapat ‘dia’. Apalagi kalau ‘dia’nya definitif. Itu terlalu cetek untuk menjadi tujuan sebuah perbaikan diri yang nantinya adalah proses terus menerus yang juga kita lakukan setelah menikah dan sepanjang hidup. Kalau pun ‘dia’ terlanjur definitif, yang kemudian harus dipikirkan adalah ... , “(1) Bagaimana saya bisa mempersiapkan pernikahan dengan sukses?” dan “(2) Dengan begitu insya Allah saya bisa mendapatkan yang jauh lebih baik daripada dia.”
Soal siapa yang lebih baik dari dia, tak ada waktu untuk menebak-nebak. Biarlah,itu urusan Allah. .... Lalu saya ingat di forum Masjid DT, “Kalau kita sudah berusaha memperbaiki diri, kemudian ketika kita menikah, ternyata kita mendapatkan jodoh yang tidak sebaik kita, bagaimana?”
... Pertama, memang ada kemulian yang Allah berikan pada hamba-hambaNya, berupa ujian melalui pasangan hidup seperti yang dialami Nabi Nuh, Nabi Luth, dan Aisyah bintu Muzahim. Kedua, mungkin kita memang telah melakukan perbaikan dan itu tampak secara zahir. Tetapi secara batin kita mungkin lebih buruk lagi dari pasangan hidup kita itu; niat kita, keikhlasan kita, dan prasangka-prasangka pada Allah misalnya. Nah, kalau ditimbang total, jadinya satu sama.
Kemungkinan ketiga, jangan-jangan kita ini hanya merasa baik, tapi sebenarnya parah. Dan ini yang menghawatirkan. Karena merasa baik sering menutupi pintu-pintu perbaikan selanjutnya. ...
Ternyata soal nikah gampang-gampang susah ya? Ingat ada dua gampangnya dan satu susah di kalimat saya tadi. Jadi tetap lebih banyak gampangnya, insya Allah. Kecuali jika kita memang suka mempersulit diri dan orang lain. Sungguh nyata, mempersulit diri membuat diri kita sulit di dunia, sedangkan mempersulit orang lain membuat kita sulit di hadapan pengadilan Allah.
Semoga Allah melimpahkan keberkahan ilmu untuk ustadz Salim Al Fillah dan keluarga, dan tulisan-tulisannya menjadi amal jariyah, aamiin. Di atas hanyalah sebagian paragraf dari halaman 36 – 38 dari buku setebal 534 halaman. Bukan bermaksud mem-promosikan, tapi saya pikir buku yang bahkan belum kelar dibaca ini memang reccomended.
Suka sekali tulisan kakak ini. Nabok adek kali. :D
BalasHapusPart #3 yg ini lebih ke kutip tulisan ustadz Salim. Siapa nabok siapa ini :D
Hapus